Tentang Konsep Nrimo

Selasa, 11 Juli 2023. 05:36

Adinda Putri Pertiwi
3 min readJul 10, 2023

Konsep Nrimo. Baru saja pagi ini aku membaca buku Ki Hadjar Dewantara, kumpulan tulisan pemikirannya tentang pendidikan. Ada pernyataan yang menarik dari beliau dalam penjelasan mengenai “Azas penerimaan”. Sebagai pendiri sekolah Taman Siswa, jalan pikirnya yang meliputi keresahan atas nasib bangsa, harapan besar untuk melahirkan generasi yang merdeka, serta keraguan dalam hitung-hitungan strategi kekuatan gerakan rakyat, tergambarkan dengan sangat jelas dalam buku ini. Membaca buku ini seakan sedang mengamati dan memahami sosok Ki Hajar Dewantara sebagai seorang individu manusia. Sehingga, tidak melulu tentang substansi pendidikan yang dapat dipetik, melainkan gagasan tentang kehidupan menarik untuk dipahami dan direfleksikan dalam kehidupan sendiri.

Di awal paragraf, ia menyebutkan bahwa “Kita hidup dizaman peralihan.” Pandangan Ki Hajar Dewantara tentang dunia di zaman itu adalah zaman bercampurnya budaya timur dan barat, yang mana hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi bangsa. Disebut tantangan karena kondisi ini berpotensi antara kesempatan untuk maju atau ancaman kemunduran. Maju apabila orang-orangnya mempunyai kesadaran akan identitas dan jati diri yang kuat, sehingga kebaruan budaya yang datang tidak memudarkan jati diri bangsa. Mundur apabila sebaliknya sehingga cita-cita kemerdekaan mustahil diraih. Latar belakang ini yang membuat beliau menyatakan bahwa “kita hidup di zaman peralihan.”

Menanggapi zaman peralihan, Ki Hajar Dewantara mempunyai gagasan bahwa peralihan ini tidak dapat dielakkan. Cepat atau lambat, kebaruan pasti datang. Maka, menerima adalah satu-satunya jalan sekalipun ia tahu bahwa pilihan itu sebetulnya bukan suatu pilihan yang merdeka, tetapi semata-mata karena mutlak.

Di masa ini juga, ia menggambarkan bahwa perasaan sedih dan gembira akan tiap kali secara bergantian menguasai diri hingga akhirnya diri mampu menyadari bahwa keyakinan yang kita pahami sebelumnya hanyalah hakikat yang subyektif. Hanya kemutlakan yang lebih besar itulah yang menyusun dan mengatur hidup kita seluruhnya.

“Dengan ini, kita sudah maju begitu jauh, hingga akan jelas dan terang bagi kita, bahwa tiap peristiwa itu baik juga bagi kita, sebab satu Pengatur hidup, tanpa ada yang kedua, memegang seluruh pimpinan untuk selamanya dalam tangan-Nya, tidak untuk kepentingan diri, tetapi karena Cinta kasih terhadap kita, makhluk-Nya, dan untuk ketertiban seluruh hidup”, di paragraf berikutnya ia menulis demikian.

Mengapa ia memilih kata “maju begitu jauh”? Ini merupakan cara berpikir yang cukup tidak biasa. Selama ini, aku memaknai kemajuan adalah kondisi yang lebih sempurna, lebih minim cacat, dari sebelumnya karena upaya perbaikan yang dilakukan oleh diri sendiri. Bagaimana bisa menerima keadaan bisa disebut kemajuan? Bagaimana bisa menerima ketidaksempurnaan bisa disebut kemajuan? Inilah pertanyaan yang muncul di kepalaku.

Ki Hajar telah mengingatkanku. Mungkin dulu aku lupa, bahwa imajiku tentang kesempurnaan hanyalah hakikat yang subyektif. Mungkin aku tidak paham dengan konsep mutlak yang lebih besar, kemutlakan yang digerakkan oleh alam semesta. Sepertinya, manusia memang perlu ditampar dulu oleh kegagalan dan kekecewaan. Jangan-jangan, secara mutlak, konsep kegagalan tidak ada. Kegagalan ada karena hakikat subyektif yang ditampar oleh hakikat yang sebenarnya. Setelah gagal, maka muncul rasa kecewa. Kegagalan dan kekecewaan hadir di dunia untuk itu, menampar manusia untuk bangun dari hakikat subyektifnya dan segera memahami hakikat yang lebih besar, agar ia dapat melangkah lebih jauh. Mungkin. Itulah mengapa Ki Hajar Dewantara bisa bilang bahwa “kita sudah maju begitu jauh.”

Untuk melangkah lebih jauh, menerima menjadi satu sikap yang dapat diambil dalam hidup. Ki Hajar memilih untuk menerima percampuran budaya barat dan timur. Setelah ia menimbang-nimbang kebaikan dan kekurangan dari kondisi ini, ia menemukan bahwa langkah yang perlu dipersiapkan agar peralihan ini tidak berujung pada ancaman kemunduran adalah menyiapkan generasi yang paham dengan jati diri sendiri dan bangsa. Langkah apa yang ia bisa lakukan untuk mewujudkan cita-cita generasi ini? Berdirilah Taman Siswa.

Ini hal yang aku pelajari dari cara pikir Ki Hajar Dewantara. Dengan menerima suatu kondisi yang diluar kontrolnya, ia telah melangkah lebih jauh.

--

--