“Karena Buku Pendidikan yang Memiskinkan ini, Aku Jadi Paham Mengapa Corak Sistem Pendidikan Kita Begini.”

Adinda Putri Pertiwi
6 min readJul 10, 2023

--

Buku “Pendidikan yang Memiskinkan” karya Bapak Dharmaningtyas ini berhasil memberi wawasan penting tentang pengaruh corak pendidikan yang kita alami saat ini. Keresahanku akan kondisi pendidikan yang praktis, pragmatis dan materialis ternyata merupakan dampak dari berbagai kebijakan pendidikan pada masa pemerintahan Orde Baru. Dalam buku yang bertebalkan 303 halaman ini, terdapat tiga pokok bahasan yang dapat dibagikan hasil dari refleksiku.

Seni yang Terhimpit oleh Kurikulum 1994

Ketika di sekolah, kita mengenal mata pelajaran Seni Budaya yang biasa disingkat dengan SenBud. Apa itu seni? Apakah seni itu sama dengan budaya? Jika seni berarti sama dengan budaya, mengapa mata pelajaran itu disebut dengan Seni Budaya? Pertanyaan reflektif yang mungkin remeh, tetapi signifikan untuk memahami alasan seni yang telah mati karena pendidikan nasional.

Seni dan budaya merupakan dua hal yang berbeda. Mengutip Ki Hajar Dewantara (1936), budaya adalah buah dari keadaban dan keluhuran budi manusia. Adapun kata lainnya, yaitu “kultur” yang berarti mengusahakan, yakni mengusahakan untuk mendapat kemajuan hidup. Dengan kata lain, budaya adalah hasil dari pemikiran manusia untuk kemajuan hidup yang lebih luhur, alias buah pikir (produk). Sedangkan, seni merupakan proses dinamis meliputi perasaan dan intuisi dalam menggunakan dan mengolah pengetahuan keterampilan dan keilmuan yang dimiliki sehingga terhindar dari keputusan tindakan yang destruktif. Mengapa demikian? Seringkali kita menemukan istilah seperti seni untuk bersikap bodo amat, seni berkomunikasi, maupun seni untuk memahami diri sendiri. Istilah baru yang muncul ini menyadarkanku bahwa seni bukan hanya tentang musik, rupa, maupun tari, tetapi lebih besar daripada itu.

Pak Dharmaningtyas dalam bab 3 menjelaskan tentang Kurikulum yang Menghapus Rasa Seni. Spesifiknya, kurikulum 1994, kurikulum ketujuh sejak kemerdekaan Indonesia. Hal yang menonjol dari kurikulum ini adalah dominannya pelajaran Matematika dan Bahasa Indonesia serta Bahasa Inggris di seluruh jenjang pendidikan. Pelajaran seni hanya mendapat alokasi waktu yang sangat minim, yaitu hanya dua jam pelajaran dari total 30–43 mata pelajaran. Dua jam pelajaran seni masih harus terbagi menjadi pendidikan seni dan kerajinan tangan. Lebih terhimpit hingga minim tempat, pelajaran seni dihilangkan di kelas 2 dan 3 SMA dan mereka hanya didominasi oleh mata pelajaran eksakta. Konsekuensinya, praktik pendidikan seni musik dan seni lukis selalu berganti setiap minggunya.

Penjelasan dari Pak Tyas ini menunjukkan orientasi yang sangat kuat pada mata pelajaran yang berbasis eksakta dan memandang remeh pendidikan seni. Konsep penyusunan Kurikulum 1994 yang amat timpang ini lahir dari cara pandang yang keliru terhadap manusia. Dianggapnya manusia itu hanya terdiri dari satu dimensi, bendawi saja, sehingga yang perlu dikembangkan hanya teknologi saja, tidak perlu mengembangkan bidang-bidang lainnya. Para penyusun kurikulum pada waktu itu tampaknya lupa bahwa teknologi hanya dapat berkembang dengan baik bila muncul kreativitas dan inovasi di masyarakat. Inovasi terbangun dan dapat tumbuh subur melalui seni dan budaya. Teknologi hanyalah kreasi terapan dari hasil pemikiran manusia (Dharmaningtyas, 2013).

Posisi Orde Baru dalam Percaturan Politik Global

Menurut Bapak Dharmaningtyas, dominannya mata pelajaran eksakta di semua jenjang tidak lepas dari latar belakang menteri pendidikan dan kebudayaan Wardiman Djojonegoro yang merupakan orang eksak. Jika memang demikian, mengapa orang yang diangkat sebagai menteri pendidikan pada waktu itu adalah beliau? Menurut penulis resensi, alasan dibalik ini adalah adanya pengaruh orientasi politik ekonomi global pada masa itu.

Dalam paradigma hubungan internasional, terdapat keyakinan bahwa kerjasama antarnegara yang terlembagakan dalam sebuah institusi internasional dapat mencegah terjadinya konflik antar negara. Pandangan ini disebut dengan neoliberalisme. Paradigma ini muncul karena antithesis dari paradigma realis yang berpandangan bahwa antar negara selamanya akan berkompetisi demi mempertahankan kepentingan. Arus paradigma neoliberalisme muncul karena berangkat dari konteks pasca perang dunia. Munculnya lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Bank Dunia, dan World Bank merupakan manifestasi dari paradigma ini.

Di sisi lain, dalam ekonomi politik internasional, neoliberalisme adalah aliran ekonomi yang meyakini bahwa dengan mengurangi campur tangan negara dalam pasar, maka jalannya kapital akan lebih lancar dan efisien. Intervensi negara dipandang dapat mendistorsi ekonomi dan harus dibatasi untuk membela hak milik pribadi. Aliran ekonomi ini menguat dipicu dari krisis yang melanda dunia pada tahun 1970-an yang ditengarai muncul sebagai akibat dari intervensi negara yang terlalu jauh sehingga menimbulkan inefisiensi. Lebih kanan dari liberalisme, neoliberalisme meyakini bahwa peran negara adalah untuk menciptakan dan menjaga kerangka institusional yang pantas untuk praktik pasar bebas. Kaitan dalam politik global, neoliberalisme diusung oleh negara-negara pemeran penting dalam politik global, seperti Amerika Serikat dan Inggris dan dilembagakan dalam kebijakan ekonomi internasional Washington Consensus.

Lalu, bagaimana posisi Indonesia dalam percaturan politik global semasa itu? Bagaimana pendidikan berimbas? Indonesia termasuk negara berkembang yang agresif menerapkan kebijakan ekonomi neoliberalisme itu. Visi Presiden Soeharto dalam pembangunan adalah mencapai masyarakat adil dan makmur melalui pembangunan modern. Visi ini tergambar dalam Rencana Pembangunan Lima Tahunan (Repelita) I — VI dengan tujuan tahap akhir pembangunan adalah meningkatkan pembangunan iklim investasi asing. Sayangnya, visi yang besar ini diramu dengan langkah kebijakan yang cenderung praktis dan pragmatis, seperti membuka keran kerjasama ekonomi yang terlalu besar dengan negara barat tanpa mempertimbangkan kesiapan sumber daya manusia dan kekuatan institusi nasional.

Langkah pertama yang dilakukan adalah melakukan program deregulasi dan debirokratisasi. Berbagai instrumen hukum dikeluarkan seperti UU №1/1967 tentang Penanaman Modal Asing dikeluarkan untuk menjamin tidak terjadi nasionalisasi atau pencabutan hak. Kontrak Karya (KK), model kontrak antara pemerintah dan perusahaan asing yang menjamin tidak ada hambatan seperti nasionalisasi dan klaim hak milik, ancaman terorisme dan sabotase, pembatalan kontrak, dan aturan perpajakan, eksplorasi dan eksploitasi yang kaku. Instrumen hukum ini dibuat agar akumulasi kapital dapat berlangsung tanpa gangguan. Menurut pengamat Stiglitz (2002), langkah yang dilakukan oleh negara-negara berkembang ini seperti halnya mendorong perahu kecil untuk berlayar ke laut sebelum lubang di lambung kapal diperbaiki dan kapten belum menerima pelarihan serta sebelum baju pelampung ditaruh di kapal.

Paradigma ini tersalurkan hingga ke hal yang paling dekat dengan kita, yaitu pendidikan dan sekolah. Langkah pembangunan nasional era Orde Baru yang praktis, pragmatis, dan sentralistik, menciptakan indoktrinasi dan “kepatuhan” yang begitu kuat di lingkungan sekolah. Buku Pendidikan yang Memiskinkan ini berhasil memberikan konteks itu secara jelas melalui alokasi mata pelajaran dalam kurikulum untuk menciptakan ideologi politik tunggal.

Beban ideologi politik dimulai dengan masuknya pelajaran agama, untuk menggantikan mata Pelajaran Budi Pekerti setelah disahkannya ketetapan MPRS No. XXVII/MPRS/1966. Konsekuensi yang paling terasa adalah bergesernya pelajaran bersifat moral universal dan inklusif tanpa membedakan latar belakang agama, suku dan ras pada mata pelajaran Budi Pekerti, menjadi pelajaran yang bersifat eksklusif dan terkotak-kotakkan melalui pelajaran Agama. Hal ini disebabkan pelajaran Agama disampaikan secara terpisah, minim ruang perjumpaan antar agama, dan dogmatis.

Selain pelajaran agama, pelajaran kewarganegaraan diubah menjadi PMP pada tahun 1976 juga menjadi faktor. Awalnya, melalui pelajaran kewarganegaraan, setiap murid dapat menumbuhkan sikap kritis melalui berbagai perbedaan. Namun, pelajaran itu diganti menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan penataraan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasilan (P4) yang menekankan pada kepatuhan pada ideologi negara Pancasila saja. Selain itu, penekanan mata pelajaran sejarah nasional pada peristiwa 1965–1966 yang menampilkan penguasa orde baru sebagai pahlawan dan kampanye anti paham komunis terutama PKI juga menjadi faktor terbentuknya generasi yang patuh.

Secara tidak sadar, mata pelajaran yang terkonsentrasi ini merupakan akibat dari cara pikir praktis, pragmatis, dan sentralistik dengan menjadi pendidikan dan sekolah sebagai alat perpanjangan tangan agenda pembangunan nasional. Hal ini menjadi penyebab lahirnya manusia-manusia yang serba patuh, takut, tidak kritis, serta tidak memiliki prinsip sendiri yang kuat.

Konteks Masa Kini: Kurikulum Merdeka, Benarkah Memerdekakan?

Buku ini sangat membantu dalam memahami kondisi pendidikan pada masa orde baru, faktor utama yang membuat stagnasi reformasi pendidikan hingga saat ini. Kini, kita hidup di abad 21, yang mana keran lintas budaya semakin deras dan informasi semakin meluap. Kita hidup di tantangan baru perkembangan teknologi yang semakin canggih. Tentunya, hal ini berdampak pada corak kehidupan dan ekonomi yang baru.

Dalam pendidikan, Kurikulum Merdeka dengan tujuan untuk menghadirkan generasi pembelajar sepanjang hayat menjadi agenda utama. Skill yang disasar pun lebih spesifik, yaitu skill komunikasi, kolaborasi, dan complex problem solving. Secara permukaan, kurikulum ini terasa tidak ada yang salah. Namun, kembali pada topik pada subbab pertama, selama pendidikan tidak bisa menghadirkan generasi yang dapat mengapresiasi seni sehingga berdampak pada pincangnya perkembangan seorang manusia, maka pendidikan akan selamanya jalan di tempat. Selama paradigma yang tergambar dalam kebijakan pendidikan mengarus utamakan kepentingan pasar dan perputaran kapital hingga membutakan pandangan kita tentang manusia seutuhnya, pendidikan nasional tidak akan jalan kemana-mana.

--

--