Berawal dari Latihan Musik hingga Sistem Pendidikan Standardisasi

Adinda Putri Pertiwi
6 min readMar 13, 2021

--

Siang ini, aku makan siang bersama teman-teman GMCO selesai latihan Grand Concert. Sebelahku ada mas Ciplek (nama sapaan), dia berkomentar dan mendorongku mencoba eksplor berbagai media seperti podcast, youtube ataupun media tulisan untuk menyalurkan pemikiran dan gagasanku tentang isu yang ada di sekitar.

Sebenarnya ide ini sudah sejak tahun 2020 aku pikirkan. Ketika Corona menyerang dan aku sadar bahwa pada waktu itu aku akan segera melepaskan statusku sebagai mahasiswa, aku rasa perlu buatku melakukan sesuatu untuk diriku sendiri. Tapi, sejak tahun itu hingga hari ini aku belum pernah yakin dengan diriku sendiri dan akhirnya tidak pernah memulai hingga sekarang. Selalu bingung aku mau menulis atau menyampaikan gagasan tentang apa? padahal gagasan itu banyak ada di pikiranku. Aku rasa, hari ini ada dorongan buatku untuk merealisasikan ini. Meskipun dorongan dari mas Ciplek kecil, tapi ternyata dapat mendorongku melakukan sesuatu.

Ngomong-ngomong soal GMCO, rasanya lebih baik aku memulai tulisan ini tentang organisasi ini. Sedikit preface, organisasi ini (Gadjah Mada Chamber Orchestra) bisa dibilang komunitas bermain alat musik orkes dari anak-anak kampus UGM. Aku punya perjalanan panjang dan berkesan dengan organisasi ini. Pada tahun 2018, aku pernah dipercayai sebagai koordinator latihan dan aku sangat merasa honour dan semangat untuk merancang dan menjalankan program-programku. Tugasku adalah merancang program latihan untuk pentas orkestra internal maupun eksternal GMCO. Oleh karena aku sangat suka dengan hal-hal terkait pengembangan manusia dan self-development, aku sangat suka dengan tugasku ini.

Lebih spesifik, di tulisan ini aku akan menceritakan tentang program latihan yang aku buat di masa periodeku itu sekaligus self-evaluation ku terhadap program yang aku bikin itu sendiri.

Sebelum aku menjabat sebagai pengurus harian di divisi latihan, jujur, aku cukup kesal dalam proses latihan karena latihan yang hampir selalu tidak sesuai dengan jadwal (a.k.a mulai molor dan selesai molor). Disitu, jiwa pragmatisku muncul (wkwkwk) dengan menggunakan alasan tidak boleh pulang malam untuk pulang tepat waktu HAHAHAHA. Tapi, dari situ aku berfikir bahwa budaya ini tidak boleh dilestarikan karena akan sangat berdampak buruk tidak hanya ke kegiatan orkestra saja, tapi ke kegiatan apapun itu baik terhadap satu individu maupun bersangkutan ke individu lain. Misal, waktu menjadi terbuang sia-sia, orang-orang malas untuk berkomitmen latihan karena jadwal yang terlalu longgar, bahkan buat orang yang ngga enakan juga berdampak buruk karena harus mengorbankan sesuatu yang sudah direncanakan sebelumnya hanya karena selesai latihan yang molor. Aku berfikir, mungkin karena ini kegiatan “musik” yang di Indonesia identik dengan santuy dan bebas, orang-orang punya mindset tidak apa-apa untuk molor, kan anak musik? hehe. Budaya ini juga aku rasakan ketika berada di komunitas orkestra selain di GMCO.

Poin itu yang menjadi evaluasi pertamaku dalam merancang program latihan. Jadi, aku menetapkan aturan untuk mulai latihan jam 19.00. Dengan begitu, kegiatan tuning harus dimulai jam 18.45 dan pemain wajib datang jam 18.30 untuk bergotong royong menata kursi dan layout di RS 3 Gelanggang Mahasiswa UGM, dimana tempat biasa kita latihan. Agar adil, kondakter harus menyelesaikan latihan pada jam 21.00. Apabila ingin ada penambahan waktu, harus atas persetujuan dari pemain terlebih dahulu dan menyebutkan ingin menambah waktu berapa lama. Aturan ini aku terapkan untuk program latihan orkestra di Mini Concert batch 12. Kebetulan karena konser ini diperuntukkan untuk anak baru dan aku punya kesempatan juga sebagai kondakter, jadi aku punya kuasa untuk menerapkan dan melakukan kontrol atas aturan ini dan anak baru cenderung lebih patuh dengan aturan ini. Ini kesempatan yang sempurna karena anak-anak baru datang dengan penanaman budaya baru yang lebih baik untuk mereka. Jadi, evaluasiku untuk ketepatan waktu dalam memulai dan mengakhiri latihan bisa aku bilang sukses.

Tantangan terberat aku dalam menyusun program latihan di GMCO adalah ketika aku harus mengadaptasi, menyesuaikan dan mengkompromikan antara tujuan untuk berprogres dalam bermusik dan kebutuhan utama sebagai mahasiswa kuliah non-musik. Ketika aku tanya ayahku (yang mana merupakan dosen musik) tentang latihan seperti apa yang sesuai dengan teman-teman di GMCO, aku selalu stuck dengan pertanyaan “anak-anak GMCO ini mau dibawa kemana? Mau diajak bermain musik seperti apa? Kalau dengan tujuan bermusik untuk berprogres layaknya musisi profesional, ini tidak bisa berlaku untuk semua anak di GMCO karena mereka datang dengan alasan yang berbeda-beda. Tujuan yang aku tetapkan pada waktu itu adalah aku ingin menerapkan program latihan rutin agar anak-anak dapat berprogres sehingga GMCO memiliki “investasi pemain” ketika ada permintaan atau dalam melaksanakan pentas orkestra. Sehingga, latihan untuk mempersiapkan itu lebih efisien, tidak membutuhkan waktu yang bertele-tele dan dapat dipangkas se-efektif mungkin untuk kegiatan mereka lainnya (ternyata pemikiranku sangat kapitalis ya secara tidak sadar).

Dalam perjalanan latihan rutin, aku menemukan buaanyaaak kendala, seperti ruangan yang terbatas, kurikulum yang tidak matang untuk menjadikan para pemain gmco sebagai “investasi player”, waktu yang banyak bentrok dengan acara baik GMCO maupun non GMCO, komunikasi dengan tutor non-GMCO yang kurang lancar, dan lain sebagainya. Intinya, evaluasiku terhadap latihan rutin yang diakhiri dengan konser Home Concert sebagai puncak dari latihan rutin ini bisa aku bilang gagal total. Tujuan tidak tercapai karena tetap saja yang pintar bermain musik dan yang dipakai untuk acara-acara ya anak-anak itu saja, dan yang belum pintar merasa terintimidasi bahkan tidak berprogres. Bahkan aku mendapat cerita ada anak yang justru ter-pressure dengan adanya program latihan rutin tersebut karena tidak bisa catch up dengan goals dari kurikulum dan level yang sudah kami buat. Artinya, tujuanku untuk mendapatkan investasi pemain pun tidak tercapai kan? Jadi aku anggap program latihan rutinku gagal total.

Setelah semua selesai dan sekarang aku berdinamika di Gerakan Sekolah Menyenangkan (GSM), sebuah gerakan untuk transformasi paradigma pendidikan, dengan segala kritiknya terhadap dunia pendidikan, aku baru tersadar “aku ternyata adalah pelaku yang melanggengkan sistem yang salah itu”. Ketika aku selesai jabatan, yang aku pikirkan hanyalah “alhamdulillah, ini selesai. Yuk, lanjut ke plan berikutnya.” Tapi, rasa penyesalan baru aku rasakan ketika aku sudah paham bobroknya sistem pendidikan (dalam artian yang luas ya, tidak hanya pendidikan formal) yang sedang dijalankan sekarang. Cerita-cerita menyedihkan seperti ada yang merasa ter-pressure dan terintimidasi dengan program latihan rutin yang standardized sekaligus membuat aku semakin yakin bahwa sistem pendidikan yang demikian tidak sehat untuk diterapkan dimana saja, apalagi di sekolah formal, seperti yang terjadi sekarang ini. Hal yang paling membuatku sedih dan menyesal adalah seharusnya GMCO ini berbasis komunitas dimana seharusnya ini menjadi tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah dan berbagi cerita, kenapa aku ribetkan dengan hal-hal yang kaku seperti kurikulum, level kelas, dsb?

Setelah banyak merefleksi dan belajar lagi tentang metode pembelajaran, serta setelah melewati masa-masa sulit latihan ketika Corona menyerang, Alhamdulillah aku ada kesempatan lagi untuk kembali meng-conduct 2 lagu untuk Grand Concert yang sempat tertunda April 2020 lalu. Aku bersyukur, budaya tepat waktu ternyata masih mereka pegang terus sampe sekarang dan Corona menyadarkan mereka akan pentingnya punya harapan. Meskipun ribet dengan latihan online, tapi aku yakin mereka melewati latihan online itu dengan baik karena hasil dari latihan online aku rasakan betul ketika latihan offline tutti (semua) 2 kali ini. Mereka berprogress sangat cepat dari 2 kali latihan ini, yang biasanya mereka butuh latihan hingga lebih dari 5 kali untuk bisa bermain hingga a tempo (tempo sebenarnya) dan cukup bersih, cukup 2 kali saja aku bisa mengajak mereka bermain lagu Sikap Duniawi dari Isyana Sarasvati dengan tempo a tempo. Aku bilang ini progres yang luar biasa.

Kenapa ini bisa terjadi? Menurut hipotesaku, ini bisa terjadi karena beberapa faktor, 1) faktor harapan. Setelah lama tidak latihan dan bertemu teman, semangat mereka untuk latihan penuh kembali setelah harapan mereka untuk latihan bersama lagi terwujud. 2) faktor leader (principal, tim korteks) di masing-masing section yang bertanggungjawab dan take care atas progres playernya. Aku bersyukur meskipun latihan online tidak dijadikan opsi untuk berprogres tetapi para principal tidak menganggap remeh latihan online sehingga konsep pembelajaran blended (online dan offline) secara tidak langsung sudah mereka terapkan sehingga latihan offline sangat efisien. 3) tidak ada tekanan untuk bermain sempurna. Di awal latihan, bahkan ketika aku ngobrol dengan teman-teman manajemen sebelum mulai latihan offline, aku mengatakan ke mereka bahwa kali ini aku akan berlaku berbeda dari dulu. Dulu, target sangat sangat sangat aku kejar sehingga terkesan seperti dikejar sesuatu. Sekarang, aku hanya berharap teman-teman player bisa kembali bersemangat latihan saja sudah cukup. Di awal latihan aku sempat menurunkan standar dan cukup pesimis karena aku merasa teman-teman sudah lama tidak latihan. Biasanya, ketika sudah lama tidak latihan hari pertama latihan akan sangat buruk. Ternyata anggapanku salah, secara intonasi mereka sudah jauh lebih berprogres dan aku tidak mengeluarkan banyak effort untuk mengkoreksi banyak hal ketika latihan. Wah, tujuanku di awal banget agar teman-teman bisa berprogres dalam musik dan bisa latihan tutti secara efisien tercapai! hehe.

What lesson learn yang bisa kita ambil? Nope, I won’t tell you. Aku rasa, aku ingin pembaca aja yang merefleksikan dari ceritaku ini.

--

--