Bahagia? Tujuan Hidup? Kematian?

Adinda Putri Pertiwi
5 min readJun 20, 2021

--

Aku kepikiran sesuatu hal yang sangat fundamental, yaitu tentang tujuan hidup. Hal ini bisa menjadi trigger seusai aku berdiskusi dengan temanku. Sebetulnya, waktu itu aku hanya mengeluh dan butuh teman cerita ketika jadwalku di hari tersebut cukup padat. Ternyata, kami membahas sesuatu yang fundamental ini.

Pembahasan kami berawal dari pertanyaannya, “hidup dengan tujuan?” atau “bertujuan sehingga hidup?” Aku bilang bahwa hal tersebut berlaku dua-duanya karena akan berkaitan dengan fulfilment. Ketika aku punya tujuan aku merasa fulfilled, maka dari itu aku bisa merasa hidup sehingga hidupku harus bertujuan. Aku bilang, tujuan hidupku adalah agar bisa berkontribusi bagi perbaikan orang lain, sehingga aku bisa bahagia.

Lalu, aku ditanya, “apakah bahagia is my end?” I said, “bahagia is the impact when I get closer to my goals”. Dia tanya, “apakah mencapai tujuan yang bahagia harus dengan tidak bahagia?”. Aku jawab, “dari pembahasan kita, jawabannya cenderung ke iya.” Menurut dia, maknaku tentang tujuan hidup sungguh saat aneh karena menginginkan bahagia namun dalam prosesnya harus menemukan kesedihan.

Secara tidak langsung, pemahamanku soal bahagia sedikit terbongkar dan tergeser. Aku pernah menuliskan, “semakin ke sini, ambisiku bukanlah untuk sesuatu yang akan aku banggakan ke orang-orang. Melainkan ambisiku adalah untuk aku bisa membangun kehidupan yang bahagia dan seimbang bagi kehidupanku sendiri maupun orang lain.”

Setelah aku baca lagi, mungkin bahagia yang aku maksud di sini pada waktu itu adalah “dalam segala pencapaian goals dan ambisiku, aku harus menemukan arti bahagia di setiap tantangan yang akan aku hadapi.” But, how? I didn’t get it. Aku bahkan belum menemukan makna bahagia itu sendiri dalam jawabanku.

Setelah lama berdiskusi, kita berkesimpulan bahwa bahagia dan tidak bahagia is part of proses yang harus dilalui. Mungkin, maksud dia, ujung maupun proses dari setiap proses itu sendiri harus diikuti dengan rasa syukur agar kita mudah mendapatkan kebahagiaan. Dengan kata lain, suatu tujuan tidak baik apabila muluk-muluk. Dia bilang, “harus pilih salah satu, atau scope nya harus dikecilkan, agar tidak sedih-sedih amat kalau memang tidak berhasil.” Dia lanjut bilang, “Tidak perku naif ingin membahagiakan semua orang, cukup segelintir dan sebelum goals akan tercapai pasti akan bahagia sendiri tanpa disadari.”

Di akhir diskusi, dia kasih quote ini, “fitrah manusia selalu menginginkan kehidupannya mengarah kepada kebahagiaan. Bagi orang-orang yang tidak beriman, mereka menganggap bahwa dunia adalah tempat satu-satunya untuk hidup dan haris menghabiskan waktu untuk tinggal di dunia dan mencari kebahagiaan yang sebanyak-banyaknya.”

Hari ini, aku sadar akan sesuatu. Kenapa, aku jarang merefleksikan tentang kematian? Kenapa aku yakin sekali, dalam merencanakan goals hidupku, tidak ada kekhawatiran aku akan mati di umur muda? Kenapa aku yakin aku akan mati ketika sudah tua? Kenapa dalam rencana hari-hariku, sedikit alokasi waktu untuk mempersiapkan afterlife? Aku baru benar-benar tersadar itu sekarang.

Sekarang, banyak lagi pertanyaan yang muncul dalam pikiranku. Apakah keinginanku berkontribusi untuk perbaikan orang lain terlalu besar scope nya? Aku coba untuk mengingat lagi catatan plan hidupku. Setelah lulus S1, aku berfokus di GSM untuk memahami arti pendidikan sebenarnya dan memahami permasalahan pendidikan secara sistemik. Di tahun 2021, insyaAllah jika direstui, aku akan bersekolah untuk S2 tentang transformasi dan inovasi pendidikan di jurusan Youth, Policy and Education di Belanda selama setahun. Setelah dari sana, mungkin aku harus yakinkan diri dari sekarang bahwa waktu setahun tidaklah cukup untuk bisa menjadi “ahli” kebijakan pendidikan. Dengan begitu, harapannya, aku berencana untuk menjadi seseorang yang berkontribusi dalam kebijakan pendidikan.

Why? Kenapa harus kebijakan pendidikan agar aku bisa berkontribusi untuk perbaikan pendidikan di Indonesia? Dulu, sebelum aku paham politik dan menjadi mahasiswa politik, aku berfikir bahwa perbaikan dapat dilakukan secara holistik, cepat, dan efektif dengan kebijakan. Setelah berdinamika di GSM, dan bertemu dengan berbagai macam orang, cerita, dan latar belakang, aku semakin berfikir, jalur kebijakan tidaklah mudah. Iya, holistik. Tetapi apabila ingin holistik, apakah bisa cepat? Aku rasa holistik dan cepat adalah sesuatu yang bertolak. Apabila bisa pun, tidak akan memberi hasil yang langgeng. Ki Hajar Dewantara sendiri, yang merupakan tokoh pendidikan Indonesia saja, tidak cukup kuat sehingga mundur dari menteri pendidikan Indonesia pada waktu itu. Apalagi aku? Meskipun menyeluruh, berbagai rintangan politik dan konflik kepentingan akan aku temukan. Aku tahu ini tidak akan membahagiakan aku.

Lalu, apakah aku tidak bisa berkontribusi melalui kebijakan? Jika tidak, lalu bagaimana? Mungkin, alur berfikirku yang salah sehingga reasoning kebijakan adalah solusi pendidikan adalah alasan-alasan yang menuju pada implementasi, yang mana banyak faktor yang berpengaruh di sana sehingga aku tidak bisa kontrol penuh.

Padahal, jika aku memperdalam alasan ke diri sendiri, aku ternyata menemukan alasan yang sangat personal. Setelah aku pikir-pikir dan flashback lagi potensi, minat, bakat dan hal-hal yang aku suka lakukan, aku menemukan bahwa aku suka bidang tersebut. Aku senang bidang berbau kebijakan dan riset. Aku suka merenungkan suatu hal dan menanyakan “kenapa? kenapa? kenapa?” hingga membuat ibuku jengkel. Aku suka belajar tentang suatu konsep berfikir, framework. Ketika aku membaca sesuatu, aku selalu akan mempertanyakan cara berfikir dari bacaan tersebut. Serta, aku suka membagikan hasil temuanku di media apapun, baik itu tulisan, gambar, video, atau yang lainnya. Seperti yang aku lakukan di GSM saat ini.

Kenapa tidak aku berkontribusi dengan mengajar sebagai guru? Ya, karena aku tidak minat, atau mungkin belum. Saat ini, aku sangat senang ketika dapat berkontribusi dengan menggunakan ilmu-ilmu yang aku dapatkan. Apakah akan menghasilkan pada perbaikan pendidikan? Secara lingkup kecil, setidaknya guru-guru dan teman-teman di GSM merasa terbantu dengan framework Transformative Change Making.

Terasa perbedaannya? Di awal, aku meyakini sebuah hal yang holistik dan eksternal, tetapi cenderung tidak pasti dan aku yakin aku tidak akan bahagia. Kedua, aku meyakini sebuah hal yang mikro dan internal, tetapi cenderung pasti dan aku terbukti bahagia. Sehingga, aku tidak memandang sebuah tujuan adalah sesuatu yang besar atau kecil, melainkan sesuatu yang aku lakukan karena aku suka. Sesuai dengan yang dimaksud oleh temanku tadi, yaitu perlu memperkecil scope dalam merancang tujuan agar tetap merasa bahagia dan memperkecil kemungkinan kesedihan.

Dari pemikiran baru ini, aku semakin yakin bahwa hal-hal yang aku lakukan untuk tujuan harus berasal dari kemauan diri sendiri dan potensi dalam diri. Dari situ, aku akan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

Di buku soal happiness, pernah tertulis bahwa “kebahagiaan hanya dapat ditemukan dari dalam diri.” Mungkin, temuanku hari ini adalah hal yang dimaksud. Alhamdulillah aku mampu memaknainya hari ini.

Kembali lagi soal kematian dan kebahagiaan, quote terakhir dari pembicaraanku dengan temanku. Pemikiran sebelumnya, aku selalu mengimajikan kebahagiaan adalah sesuatu yang di dapat setelah mampu meraih sesuatu pencapaian yang sifatnya besar dan holistik. Padahal, apakah aku yakin, ketika hidup di dunia, aku punya waktu sebanyak yang aku kita untuk bisa mencapai tujuan yang aku tetapkan? Tidak juga kan? Umurku, tidak bisa aku ketahui hingga kapan. Jadi, betul juga yang dikatakan oleh temanku. Tujuan yang aku buat seharusnya ditujukan dengan scope yang lebih kecil agar tidak terlalu naif dan agar memperkecil ketidakbahagiaan.

--

--